Belajar di/dari Ruang Publik
Beberapa waktu lalu, seseorang sempat mengemukakan pendapat bahwa ketidaksediaan ruang belajar publik yang “layak dan accessible” membuat pelajar dan mahasiswa menormalisasikan tempat makan sebagai tempat belajar.
Blog post ini bukan tentang apakah saya setuju atau tidak setuju dengan tweet tersebut. Melainkan, blog post ini tentang apa yang teringatkan oleh saya setelah melihat tweet tersebut.
Selang waktu dari Oktober 2019 hingga Maret 2020 adalah masa-masa saya tidak hanya belajar untuk seleksi masuk perguruan tinggi negeri, tetapi juga masa-masa saya banyak melakukan banyak eksplorasi di Bandung Utara dengan cara berjalan kaki atau naik kendaraan umum (angkot, kereta, ojek online). Biasanya, saya melakukan eksplorasi tersebut sambil mencoba berbagai macam tempat untuk hal yang tetap menjadi prioritas utama saya saat itu: belajar!
Dari pengalaman tersebut, saya lambat laun membentuk opini bahwa Kota Bandung, spesifiknya bagian Bandung Utara, masih memiliki sedikit tempat untuk belajar di ruang publik.
- Perpustakaan di universitas → Saya dulu belum memiliki status mahasiswa, jadi tidak memiliki universitas. Meskipun begitu, saya dulu sebetulnya kadang-kadang suka belajar di perpustakaan ITB! Namun kemudian diubah sehingga untuk masuk, pengunjung mesti memberikan NIM, dan waktu itu saya belum punya NIM, toh belum resmi masuk ITB … Saya tidak cukup tahu mengenai perpustakaan kampus-kampus lain untuk menyusup.
- Perpustakaan kota → Saya sangat suka Perpustakaan Bandung, meskipun ramai sekali sehingga terkadang saya susah mencari meja. Tapi Perpustakaan Bandung jam bukanya sedikit … Jam istirahatnya saat siang lama, jam bukanya saat sore sangat singkat karena cepat tutup.
- Taman kota → Sangat dipengaruhi faktor cuaca, suatu hal yang sangat berpengaruh saat musim hujan. Matahari terik dan angin kencang mengganggu juga, tapi untuk hal ini saya akui masih bisa disiasati (cari pohon, cari tempat yang tidak kena angin). Menurut saya meja dan tempat duduk yang ada di Taman Lansia juga sudah lumayan nyaman meskipun kondisinya sudah … tidak sebagus dulu. Tanda-tanda sering kehujanannya sangat kelihatan. Hehehe.
- Tempat random di pinggir jalan, misalnya depan minimarket atau bahkan bangku kota → sangat rawan kena asap rokok. Saya punya asma, kalau mesti ke UGD lagi biayanya mahal baik dalam biaya waktu maupun biaya finansial …
- Kurangnya fasilitas → waktu itu saya tidak mencari wi-fi dan colokan listrik, tapi tentunya faktor-faktor ini sangat berpengaruh bagi mereka yang perlu menggunakan laptop dan/atau koneksi internet untuk belajar atau mengerjakan tugas. Taman kota di Bandung memang ada yang ada wi-finya, tapi berdasarkan pengalaman saya, lambat banget dan sangat susah untuk dihubungkan ke HP. Setelah berhasil dihubungkan pun rawan putus-putus.
- Bandung Creative Hub, dsb dsb → jauh bagi saya waktu itu.
Hal tersebut, menurut saya, adalah permasalahan tersendiri dan bagian dari permasalahan mengenai bagaimana masih banyak yang bisa dikembangkan dari ruang publik di Kota Bandung.
Menurut saya, tempat belajar yang optimal memiliki peran besar dalam mendukung perkembangan akademis suatu individu; sayangnya, banyak orang tidak dapat mengakses ruang belajar non-publik (di tempat tinggal dan sebagainya) karena jauh, tidak memiliki ruang belajar non-publik yang kondusif, dan sebagainya. Saat ini terjadi, ruang belajar publik memiliki peran yang sangat besar dalam memenuhi kebutuhan tersebut.
Oleh karena itu, menurut pendapat saya, kurangnya ketersediaan ruang belajar publik secara jangka panjang dapat menghambat perkembangan akademis masyarakatnya. Keluhan mengenai lingkungan belajar yang tidak kondusif dan membuyarkan konsentrasi (menghambat), sesuatu yang makin sering didengar seiring memperburuknya pandemi COVID-19, adalah indikasi hal tersebut. Sebaliknya, saya memprediksi, ketersediaan ruang belajar publik yang memadai dapat sangat mendukung perkembangan intelektual masyarakatnya.
Meskipun begitu, masih diperlukan penelitian lebih lanjut oleh orang-orang yang lebih mengerti hal ini daripada saya, karena saya tidak paham bidang ini (dan saya belum menemukan paper yang membahas ini).
(Bonus: Ternyata kereta dalam kota tempat yang lumayan oke untuk belajar. Enggak ada mejanya, tapi sepi, adem karena sepi, bersih, relatif tenang, tempat duduknya nyaman, dan yang paling penting, tidak ada asap rokok. Harga tiket biasanya 5000, tapi untuk sebagian jam+rute jadi 4000, 6000, atau 8000 kalau saya tidak salah ingat.)
Tulisan ini dibuat sebagai tugas untuk kelas saya dalam mata kuliah Pengantar Rekayasa dan Desain.