Kebebasan yang Dibangun atas Realitas Bersama

Emmanuella P. R.
2 min readFeb 3, 2021

--

Salah satu hal yang menurut saya merupakan salah satu contoh pembatasan kebebasan adalah pembatasan kebebasan berbahasa di luar kaidah bahasa yang “baik dan benar”. Pembatasan ini antara lain dilakukan oleh individu dalam masyarakat yang sebagai sebabnya mendapatkan cap “grammar nazi”.

Keberadaan kaidah bahasa yang ketat dan eksplisit bukan tanpa alasan. Kaidah dikodifikasi dengan maksud menyokong komunikasi yang baik, sesuatu yang biasa diartikan sebagai komunikasi yang efektif (hemat, logis, dan seterusnya). Selain itu, kaidah itu sendiri merupakan perwujudan kesepakatan yang dibuat agar kerancuan dan halangan-halangan lainnya dalam komunikasi dapat diminimalisasikan. Semuanya ini dimaksudkan untuk memfasilitasi komunikasi yang baik, sesuatu yang merupakan tanggung jawab semua pihak dalam suatu masyarakat. Sebagai seseorang yang merasa “gatal” dengan “disana” dan “tapi” dan pernah melihat dirinya sebagai bagian dari komunitas kontributor Wikipedia, tentu saja saya sangat mengapresiasi hal ini.

Meskipun begitu, memaksakan kaidah ini dalam semua konteks dapat menjadi permasalahan. Pertama, pemaksaan kaidah ini tidak tepat diaplikasikan ke semua konteks. Belajar dan berkembang adalah hak setiap individu, tetapi koreksi agresif yang bersifat mempermalukan dan bisa jadi utamanya bertujuan hanya untuk memuaskan ego dapat sangat menghambat. Rasa malu yang ditimbulkan bisa menurunkan kepercayaan diri dan membuat orang tersebut kurang berani berbicara. Padahal, berbicara adalah salah satu bentuk praktik berbahasa, yang tanpanya seseorang tidak mampu berkembang secara kebahasaan.

Selain itu, penyalahan kaidah bahasa dapat merupakan perwujudan ekspresi kebudayaan seseorang, sesuatu yang merupakan hak dan juga suatu hal yang patut dilindungi dalam suatu masyarakat yang menjunjung multikulturalisme. Dengan memaksa agar semua pihak dalam suatu masyarakat yang multikultural mengikuti kaidah yang mungkin hanya mewakilkan satu budaya atau komunitas, kita pun turut serta menghapus kebudayaan pihak tersebut. Purisme atau proteksionisme bahasa dalam sebagian kasus bisa jadi contoh dari kasus ini. Padahal, menurut saya, bisa jadi terdapat kekayaan kultural di balik bahasa yang tidak “baik dan benar”.

Dengan mempertimbangkan semua faktor tersebut, menurut saya idealnya kita menggunakan kebijakan yang mengutamakan konteks. Mengikuti kaidah bahasa yang baik dan benar sangat penting dalam konteks seperti menulis karya ilmiah tetapi merupakan hal yang belum tentu diperlukan dalam konteks obrolan sehari-hari dan mungkin sebaiknya malah tidak dipaksakan.

Tulisan ini dibuat untuk OSKM ITB 2020. Saya mempublikasikan ini karena sedang merasa sentimental. Sebetulnya saya merasa tulisan ini enggak koheren, tapi yha, waktu itu sudah mepet deadline.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

Emmanuella P. R.
Emmanuella P. R.

Written by Emmanuella P. R.

college student. sometimes i post writing assignments here.

No responses yet

Write a response